Sindrom Anak Papa

Kejadian 2:24, 1 Korintus 13:4-7

Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.
Kejadian 2:24

 

Kebanyakan wanita tumbuh dengan mimpi tentang pria seperti pangeran tampan yang mencintai kita apa adanya dan mau berkorban demi kita. Buku-buku dongeng saat kita kecil hingga drama romantis yang kita tonton saat dewasa menunjukkan kerinduan kita akan hal itu. Dalam kenyataan, setidaknya di mata kita, pria itu ada, yaitu ayah kita. Meski ada juga ayah yang tidak demikian. Namun, di mata anak perempuannya banyak ayah ibarat pangeran pelindung, superman yang perkasa, dan guru yang bijaksana. Sebutan anak Papa pun lebih sering disandang anak perempuan. Jika untuk anak laki-laki, ayah cenderung keras, maka untuk anak perempuan, mereka akan sangat protektif.

Tapi, saat kita lalu menemukan “cinta kedua” kita, yaitu pasangan yang menjadi suami kita, keadaan berubah. Dalam Kejadian 2:24, memang hanya disebutkan laki-laki akan meninggalkan ayah ibunya untuk bersatu dengan istrinya sehingga kebanyakan khotbah atau tulisan tentang ayat ini pun lebih sering menyangkut kemandirian pria. Tapi, ayat ini juga bicara tentang kita. Bahwa kita menjadi satu daging dengan suami, itu artinya kita mendirikan kesatuan baru, yaitu keluarga. Tapi, ada kalanya sikap lama kita sebagai anak Papa masih terbawa dalam rumah tangga. Ini kebanyakan terjadi pada wanita yang terbiasa hidup dekat dengan ayahnya (belum pernah hidup terpisah dari orang tua). Ini sering kali berwujud sikap suka membandingkan (yang biasanya tidak adil), lebih mendengarkan ayah daripada suami, berharap suami melakukan yang biasa dilakukan ayah, dsb.

Orang tua kita mungkin memang sangat baik. Tapi, keberhasilan pernikahan kita bukan dibangun dengan memaksa suami menjadi orang lain. Temukan kebaikan suami yang akan membuat Anda bersyukur akan menjalani hidup dengannya. Landasan pernikahan adalah kasih yang menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu (1 Kor. 13:7). Pernikahan bukan berarti kita kehilangan keluarga kita (orang tua), tapi pernikahan memperlengkapinya. Inilah proses kita menjadi dewasa, baik secara jasmani maupun rohani. Anda bukan lagi anak, tapi istri bahkan ibu. • @

Kedewasaan dalam menjalani pernikahan akan menciptakan pernikahan yang bahagia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berdoa di Saat Sibuk

September 21, 2021

Melayani dengan Talenta

September 21, 2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *